expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Berbagi Informasi Sharing,Curhat(FIK,Universitas Negeri Malang IK 2010 )

Anda pengunjung blog nomer

jadi yg pertama diantara teman temanmu

Rabu, 18 April 2012

Jangan Abaikan Cabai Merah!

Bentuknya yang panjang dengan warna merah menyala dan rasa pedas “menyengat” jika sampai di lidah membuat orang kadang enggan menyentuh.



diketahui rasa panas dan pedas itu ternyata mampu ditransformasikan menjadi salah satu jenis pengurang rasa sakit, khususnya bagi para penderita radang sendi.
Setidaknya, itulah kesimpulan sementara para ahli di Inggris yang semula sangat anticabai. Rasa cabai yang pedas dan panas sangat tidak disukai oleh lidah Barat. Sebaliknya, cabai hampir selalu bisa ditemukan di tiap masakan Meksiko, China, India, Thailand, maupun Indonesia.
Terdorong mencari jawaban apa sebenarnya yang ada di balik rasa pedas cabai yang bagi mereka “luar biasa” tersebut, para ilmuwan Barat kemudian meneliti khasiat cabai secara khusus. Tahun 1997 ilmuwan Amerika Serikat, Dr Michael Caterina, dari Jurusan Farmakologi Sel dan Molekul Universitas California San Fransisco meneliti kandungan kimia di rasa pedas cabai yang disebut sebagai CAPSAICIN.
CAPSAICIN lanjut Dr David E Clapham, dari Sekolah Medis Harvard, terdapat di “tangkai” putih yang ada di dalam cabai merah. Bagian inilah yang kemudian juga memunculkan sensasi rasa pedas dan panas. Melalui THE Report Health edisi November 1997, Caterina dan Clapham mengatakan, rasa panas dan pedas pada cabai sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi cabai agar tidak dimakan. Kenyataannya, “peringatan” itu tidak berlaku bagi manusia.
Penangkal rasa sakit
Sensasi rasa itu kemudian menarik perhatian para ilmuwan Barat. Baik ilmuwan AS maupun Inggris menemukan kaitan antara rasa panas dan pedas dengan penangkal rasa sakit.
Dr Caterina mengatakan, molekul CAPSAICIN MENGAKTIFKAN kondisi ini pada kulit. Karena itu, meski menimbulkan sensasi rasa pedas dan panas, jika diimbangi dengan perawatan yang terus-menerus, molekul capsaicin bisa mematikan rasa sakit tanpa membuatnya menjadi kebas. Dikatakan, para ilmuwan telah berhasil mengidentifikasikan protein, khususnya yang muncul di atas permukaan neuron sel saraf.
Protein ini bertanggung jawab untuk mendeteksi rasa sakit. Jika protein ini diambil dan digabungkan ke tipe sel yang berbeda, dalam arti bukan sel saraf, misalnya, dimasukkan ke dalam telur katak, atau sel ginjal, akan didapatkan sel yang mampu merespons capsaicin. Sebelum protein ini ditemukan, sel tersebut tidak mampu merespons capsaicin.
Caterina mengakui, untuk pemahaman yang lebih dalam masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Namun, di tingkat dasar, kaitan itu terjadi ketika molekul capsaicin mengikat protein itu sehingga bentuk protein bisa berubah. Kondisi ini memungkinkan ion di sel luar seperti kalsium atau sodium mengalir masuk melalui protein itu ke sel dalam. “Protein ini menciptakan semacam lubang kecil di permukaan sel yang hanya terbuka jika capsaicin diaktifkan,” jelasnya.
Caterina menegaskan, setidaknya ada tiga hal yang membuatnya yakin akan kaitan capsaicin dengan jenis pengurang rasa sakit. Pertama, capsaicin hanya bereaksi pada sel saraf yang bertanggung jawab mendeteksi rasa sakit. Alasan kedua, protein yang bertanggung jawab pada rasa sakit itu akan menimbulkan efek rasa sakit hanya bila diaktifkan dengan capsaicin atau panas.
“Ketiga, kami tahu, jika kami merawat sel yang mengeluarkan protein ini dengan capsaicin untuk waktu yang lama, secara perlahan-lahan sel saraf itu akan menjadi mati rasa terhadap rasa sakit, bahkan lama-kelamaan mereka tidak mampu lagi mendeteksi rasa sakit,” ujarnya. Kesimpulan ini membawa pada penggunaan bahan kimia seperti capsaicin untuk mengatasi radang persendian.
Radang sendi
Belum puas dengan penemuan itu, ilmuwan Inggris dari King’s College, London, Profesor Susan Brain, kemudian membentuk tim khusus untuk meneliti potensi capsaicin yang terdapat pada cabai merah tersebut.
Selama dua tahun, tim Profesor Brain mencari tahu kaitan antara capsaicin dan upaya memerangi kasus radang sendi. Akhir Juni 2006 lalu, Profesor Brain mengungkapkan penemuannya tersebut.
Seperti dikutip BBC News, Brain mengatakan, ia memusatkan penelitian pada cara capsaicin memerangi efek peradangan, khususnya substansi yang disebut TNF-alpha. Brain berhasil mentransformasikan efek pedas dan panas “membakar” pada cabai menjadi sesuatu yang berguna bagi pengobatan radang sendi, khususnya RHEUMATOID arthritis. Suatu penyakit yang memungkinkan sistem kekebalan tubuh menyerang persendian sehingga menimbulkan rasa sakit luar biasa, radang, atau kaku.
Brain mengatakan, pengaktifan mekanisme pada saraf yang sensitif terhadap rasa sakit yang disebut TRPV 1 juga terjadi pada model arthritis. “Tetapi, hanya sedikit yang tahu mekanisme yang menghubungkan antara radang dan komponen sensitif tersebut,” ujarnya. Menurut dia, TRPV 1 hanya terjadi jika mendapat rangsangan dari capsaicin yang ditemukan dalam ekstrak cabai merah tersebut.
Ia mengakui, capsaicin telah banyak digunakan dalam dunia pengobatan lebih dari satu abad, termasuk untuk rematik dalam pengobatan tradisional. Namun, umumnya hanya digunakan untuk masalah yang terkait dengan luka bakar. “Bahkan, ada yang sudah berbentuk salep yang bisa diusapkan di kulit. Tetapi itu tadi, hanya untuk gatal-gatal atau rasa sakit yang terkait dengan luka bakar,” ujarnya.
Meski masih memerlukan penelitian lebih lanjut, ia berharap pabrik farmasi tertarik untuk segera mewujudkan teori ini ke dalam bentuk obat-obat pengurang rasa sakit sehingga bisa segera digunakan. Semoga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar